Bubur Cinta Dara (3)

Thursday, March 14, 2013


“Ya, itu. Dara yang ngerubah sifat glamour gue. Dan itu yang bikin gue suka sama dia. Dia gak pernah mau gue anterin pake kendaraan mewah. Dan asal lo tau ya Dam, motor butut ini ni (Ari menunjuk kearah motor yang mereka dorong) motor supir gue. Pas gue di beliin mobil baru, gue malah minta dibeliin motor sama bokap. Gue bawa kedepan Dara, eh dia masih aja nolak buat gue anterin. Nah, pas gue bawa sibutut ini, baru dia mau gue ajak kemana-mana. Nganterin dia balik lah, nganterin ke pasar lah, sampe kerumah sakit. Dia gak pernah ngeluh tentang motor ini. Makanya Dam, gue ga bakalan berhenti dan ngelepasin dia buat siapapun.” Tegas Ari.

“Gila ya lo.Gue jadi penasaran sama tu cewek!” Canda Adam.

“Apa lo bilang? Awas aja lo kalo berani ngedeketin dia, gue hajar lo.” Jawab Ari.

Mereka pun akhirnya larut dalam canda. Adam pulang dengan mobilnya. Sedangkan Ari, akhirnya dia minta dijemput supirnya.

Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan sembahyang Isya. Begitu aku keluar kamar dan selesai shalat, ibu memanggilku. Rupanya ibu sudah menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya untukku. Ibu tahu hari ini aku berpuasa. Jadi ibu membuatkanku masakan spesial. Aku tersenyum dan mengambil piring itu.

“Kenapa lauknya banyak sekali, bu? Memangnya ibu tidak membelikan bahan-bahan untuk jualan besok?” Aku bertanya apa adanya pada ibu yang masih melihatku dengan penuh kasih itu.

“Sudah lah Dara. Kamu makan saja dan tidak perlu banyak Tanya. Alhamdulillah hari ini Allah memberikan rejeki lebih untuk kita. Buburnya laku keras jadi keuntungannya ibu belikan lauk pauk dan sayuran. Lagi pula kamu pasti sudah bosan dengan tahu dan tempe lagi, bukan? Sekali-kali ibu kan boleh membuatkan masakan yang lain dari biasanya untukmu apalagi hari ini kamu puasa. Cepat habiskan nanti keburu dingin. Setelah itu pergilah tidur.” Terang ibu.

Aku sedih dan bahagia mendengar perkataan ibu tadi. Lalu kuhabiskan makananku. Sehabis makan, kutemui ibu yang sedang mengupas bawang merah didapur. Meski lelah, senyumtak pernah lepas dari wajahnya.

“Bu, sini Dara bantuin. Memangnya ibu gak capek seharian jualan?” Ucapku.

“Tidak usah, nak. Kamu pergi tidur saja sana! Ibu kan sudah biasa seperti ini. Kamu sendiri apa tidak capek seharian dikampus beraktivitas?” Ibu balik bertanya.

“Ah ibu. Hari ini Dara cuma nungguin pos penampungan bantuan aja kok! Lagian tenaga Dara kan udah kembali diisi dengan masakan ibu yang enak. Sini, biar Dara yang mengupas bawang-bawangnya.” Sambil mengupas bawang, kami semakin asyik berbincang seakan kantuk tak datang malam itu.

“Bagaimana hasil sumbangan nya, nak? Sudah terkumpul banyak?” Tanya ibu membuka pembicaraan serius.

“Alhamdulillah, bu. Sudah banyak yang nyumbang. Rencananya akhir minggu ini semua sumbangan itu akan disampaikan ke panti.” Jawabku.

“Alhamdulillah kalau begitu. Nanti ibu titip bubur untuk dibawa kesana ya, nak!” Ucap ibu.
“Dengan senang hati bu.” Jawabku pada ibu.
Tak terasa ketika semua pekerjaan kami selesai, jam sudah menunjukan pukul 01.00 dini hari. Aku dan ibu pun bergegas tidur.

***

Hari ini, ibu telat bangun. Tidak seperti biasanya. Selepas sembahyang shubuh, aku masuk ke kamar beliau. Kupegang keningnya. Panas sekali. Badan ibu menggigil, matanya belum terbuka. Aku panic. Aku langsung meminta bantuan semampuku. Aku mencari tetangga yang bisa kupinjami mobil untuk mengantarkan ibu ke puskesmas. Untung saja ada pak Bahrum yang berbaik hati menolongku. Ia mengantarkan aku dan ibu ke puskesmas yang letaknya jauh dari tempat tinggalku. Sepanjang jalan aku menangis dan terus memegangi tangan ibu yang gemetar. Ya Allah, ada apa ini. Apa yang terjadi pasa ibu. Jangan kau panggil ibuku sekarang ya Allah. Aku belum sempat membahagiakannya. Di kepalaku hanya ada pikiran-pikiran seperti itu. Begitu sampai di Puskesmas, pak Bahrum langsung memanggil perawat yang kemudian membawa ibu ke ruang UGD. Aku semakin sedih.Air mataku jatuh seakan tak terbendung lagi.

“Neng Dara yang tabah, ya. Bapak tidak bisa membantu banyak. Bapak harus pergi mengajar sekarang. Kalau tidak ada ulangan, bapak ingin menemani kamu dan ibumu disini.” Pak Bahrum menghentikan tangisku sesaat.

“Iya, pak. Terimakasih atas kebaikan bapak mengantar ibu saya kesini. Saya belum bisa membalas semua kebaikan bapak. Semoga Allah memberikan rejeki dan kesehatan pada bapak dan keluarga.” Jawabku sendu.
Aku hanya bisa membalas pak Bahrum dengan do’a ku yang tak seberapa.

“Kamu yang sabar, ya. Insyaallah nanti saya dan istri kesini melihat ibumu. Saya permisi pulang.” Pak Bahrum pamit.

Pak Bahrum pun pergi meninggalkanku dalam keadaan serba bingung.

“Ya Allah, apa yang harus aku perbuat. Jangan biarkan sesuatu yang buruk menimpa ibuku ya Allah. Aku tidak punya siapa –siapa lagi didunia ini selain dia.” Ucapku dalam hati.

Lalu seorang perawat menghampiriku dan menyuruhku untuk segera kebagian Administrasi Puskesmas. Akupun lantas mengikutinya.

“Selamat pagi, sus.” Sapaku pada seorang suster yang berwajah baik dan keibuan ditempat administrasi itu.

“Iya, pagi. Siapa namamu?” Tanya suster itu lembut.

“Nama saya Dara, sus. Ibu saya pasien yang barusan dibawa keruang UGD barusan.” Jawabku pada suster baik itu.

“Iya, saya tau. Maaf ya Dara, saya memanggilmu kesini. Tetapi ini prosedur Puskesmas disini. Saya hanya menjalankan perintah, nak!” Suster itu mengiba.

“Tidak apa-apa sus, saya mengerti. Jadi berapa semuanya, sus?” Aku langsung to the point menanyakan jumlah biaya yang tertera di kertas pada suster itu.

“Kamu bisa membayarnya jika kamu sudah punya uang, Dara. Saya tau kamu pasti bingung karena belum punya uang, kan? Maaf kan saya jika saya keliru.” Cela suster itu.

“Suster benar. Saya memang tidak tau dengan apa saya harus membayar biaya pengobatan ibu. Kalau boleh, saya minta waktu 2 minggu untuk melunasinya, sus.” Aku memohon.

“Tentu, Dara. Saya tahu dan saya pernah mengalami situasi seperti ini. Saya akan talangi dari uang saya dulu. Saya percaya kamu anak yang jujur. Sekarang kamu temani saja ibumu disana.” Suster itu berbaik hati menolongku.

“Baik, sus. Suster orang yang baik, saya berhutang nyawa pada suster.” Ucapku berkaca-kaca.

Akupun berlari menuju ruangan dimana ibuku dirawat.

Kubuka pintu ruangan itu. Kulihat ibu yang sangat kucintai terbaring lemah diatas tempat tidur puskesmas. Senyuman diwajahnya, seolah tak nampak saat itu. Hanya raut kesakitan yang kulihat. Kuhampiri ibu lalu duduk disamping tubuhnya yang mulai renta. Kembali hatiku memohon.

“Ya Rabb, jika bisa kau tukar aku dengannya, aku ikhlas menanggung penderitaannya. Aku tak tega melihatnya begitu tak berdaya diatas tempat tidur ini. Mengapa ibu yang renta ini yang harus merasakan penderitaan ini ya Allah. Bahkan aku belum bisa membuatnya bahagia.” Air mataku menetes seolah mengiringi doaku. Ku genggam tangan halus ibuku, ku tatap  wajahnya yang penuh kasih itu. Tapi ibu tak juga membuka mata.

Sementara aku di Puskesmas, rupanya Ari mengkhawatirkanku. Siang itu, tepat jam makan siang. Ari datang ke tempatku berjualan bubur karena ia tak mendapatiku di kampus. Rupanya ia masih memikirkan kejadian kemarin malam. Ari mengira aku marah sampai aku tak datang ke kampus. Ari berusaha mencari tahu keberadaanku di rumah, tapi tidak ada hasilnya. Hanya tempatku berjualan yang menjadi tujuannya. Siang itu Ari tak sendiri. Ia mengajak Adam untuk ikut dengannya. Ketika mereka tiba di tempatku berjualan bubur, Ari semakin khawatir karena ia tak melihat aku dan gerobak buburku disana.

“Ngapain kesini, Ri?” Adam bertanya seolah ia merasa tak usah mencariku ketempat ini.

“Ini tempat biasa Dara dan ibunya berjualan bubur, Dam. Gue yakin kalo dia ga ada di rumahnya, pasti dia disini bantuin ibunya. Tapi kok gak ada apa –apa sih, disini? Gue khawatir Dam” Jawab Ari panik.

“Oh, jadi dia itu Dara yang waktu itu berjualan disini. Waktu itu gue pernah beli bubur disini Ri, tapi gue ga nyadar kalo itu Dara. Pantesan aja gue berasa familiar sama mukanya. Terus kalo gak ada disini, kemana lagi dong kita nyari dia. Di rumahnya juga ga ada, kan?” Tanya Adam.

“Itu dia Dam, gue bingung. gue ga tau dia dimana sekarang. Gue takut terjadi apa-apa sama dia dan ibunya. Kita coba balik ke rumahnya lagi Dam, kali aja dia udah balik.” Ajak Ari.

Tanpa pikir panjang, Ari pun menyalakan gas mobil dan menjalankannya dengan setengah ngebut. Setibanya dirumah Dara, Ari tidak melihat tanda-tanda orang dirumah. Lalu seorang ibu sengaja menghampiri mereka.

“Ibu perhatikan kalian sudah dua kali kesini. Mau mencari nak Dara, ya?” Tanya ibu yang sudah memperhatikan kedatangan mereka kerumah Dara itu.

“Iya bu, benar. Saya teman kuliah Dara. Kebetulan hari ini Dara tidak masuk kuliah, jadi saya mencarinya kesini. Tadi juga saya sempat ke tempat dia jualan tapi tidak ada juga. Barangkali ibu tau dimana Dara atau ibunya berada?” Tanyaku sopan.

“Oh, begitu. Setau saya, tadi pagi nak Dara kerumah saya dan meminta suami saya untuk membawa ibunya ke Puskesmas.” Terang ibu itu.

“Kalau boleh tau, memangnya apa yang terjadi dengan ibunya Dara,  bu?

“Sepertinya penyakit ibunya Dara kambuh, nak. Saya juga rencananya siang ini mau kesana. Tapi sudah jam segini suami saya belum pulang ngajar. Kalau kalian mau, nanti kita kesana sama-sama tapi nunggu suami saya pulang dulu.” Ibu itu menawarkan solusi.

“Oh, tentu bu. Saya mau nunggu ibu dan suami ibu.” Jawab Ari.

“Kalau begitu, saya permisi dulu. Nanti kalau suami saya sudah pulang, saya kesini lagi lalu kita pergi sama-sama.” Ucap ibu itu.

“Baik bu.” Jawab Ari yang sedikit lega karena akhirnya tahu dimana keberadaan gadis pujaannya itu.

Ari tak sabar dan terus memandangi jam di tangannya. Tak lama si Ibu datang dan mengajaknya pergi. Akhirnya mereka pun pergi menuju Puskesmas yang letaknya jauh itu.

Beres memarkirkan mobilnya, Ari langsung masuk dan menuju receptionist. Ia langsung menanyakan pasien atas nama ibu Aminah. Suster yang dibagian receptionist pun langsung menunjukkan ruangan dimana ibu Dara dirawat.

Diketuknya pintu kamar no 19 itu. Dara membukakan pintu itu.

“Ra, kamu ga apa – apa, kan? Gimana Ibu?” Ari langsung menyerobot dengan pertanyaannya itu.

“Gak apa-apa kok, Ri. Ibu lagi tidur tadi abis makan dan minum obat.” Jawab Dara lemas.

“Kamu sendiri udah makan belum?” Ari khawatir.

“Aku ga makan juga kuat kok! Yang penting ibu sembuh.”

Tak lama setelah menjawab itu, aku merasa pandanganku buram. Dunia gelap dan braaaakkk!!! Tubuhku jatuh tapi belum sampai menyentuh lantai Ari sudah menopangku dengan tangannya yang kekar.

Aroma minyak angin menyadarkanku dari alam bawah sadar. Rupanya tenagaku tak cukup sampai –sampai aku pingsan segala. Terlihat muka bayi Ari yang begitu penuh kekhawatiran.

“Syukurlah kamu sadar. Udah sakit, masih mau boong lagi? Sini buka mulutnya!” Ari menyodorkanku sendok yang dipenuhi nasi dan sayur.

Karena memang lapar, aku membuka mulutku dan membiarkan nasi itu mengisi perut kosongku.

“Kamu ini, kenapa tidak menghubungiku? Kalau tidak ada keluarga pak Bahrum, mungkin aku tidak akan menemukan kalian disini. Dasar kamu ini!” Ari memarahiku sambil mengelus rambutku.

“Maaf, aku tidak sempat hubungin kamu, Ri. Lagian aku kan ga punya handphone, bagaimana bisa aku menghubungi kamu.” Jawabku pelan.

“Kamu sih keras kepala. Aku kan pernah ngasih handphone buat kamu. Kenapa kamu tolak? Jadinya kayak gini kan? Ayo abisin makannya!” Ari begitu perhatian terhadapku dan Ibu.

“Aku gak mau selalu tergantung sama kamu, Ri. Apa – apa kamu. Kamu juga kan punya masalah yang harus kamu urusin selain masalah hidup aku.” Jawabku sedikit menyesal.

“Ah, itu kan alesan kamu aja. Pokoknya aku gak mau tau, besok kita beli handphone buat kamu. Kalo kamu nolak, berarti kamu gak pernah nganggap aku temen kamu.” Ari merajuk.

Besoknya, benar saja. Ari membelikan handphone untukku. Aku tidak meminta handphone yang mahal dan canggih seperti yang diidamkan orang lain. Yang penting bisa untuk menelpon. Akupun hanya menggunakan hp itu untuk menelpon dan menerima telepon dari Ari saja. Karena aku pikir tidak ada yang harus aku telepon. Beban juga sih buatku karena setiap waktu aku harus mengangkat telepon darinya. Dan kisahku bersama Ari, baru saja dimulai.

-selesai-
 

©Copyright 2011 Pabrik Huruf | TNB