Terang itu kucari kini
Tertatih pedih di balik asa yang tak nyata
Terbalut harap yang perlahan membunuhku
Terbungkam sepi yang selalu mencekik kata
Tetapi aku masih di sini
Tetapi aku masih menanti
Karena aku terlalu bodoh,
Atau terlalu mengerti untuk mencintainya..
Aku melipat kertas itu dan kemudian menerawang, mencoba
menerka-nerka siapa yang belakangan ini sering mengirim puisi-puisi cinta
kepadaku.
“Puisi lagi, ‘Ta?”
“Iya nih..”
“Lo belum tau siapa pengirimnya?”
Aku cuma menggeleng.
“Coba gue liat,” Sandra mengambil kertas itu dari tanganku
lalu membaca puisi itu dengan seksama. “Gue nggak yakin kalo di kelas ini ada
orang yang bisa bikin puisi kayak gini,”ujar Sandra sambil menyebarkan
pandangannya ke semua sudut ruangan.
“Tapi siapa coba, San, yang niat banget pagi-pagi nyimpen puisi
di kolong meja gue? Dia pasti nyimpennya sebelum kita semua dateng, ’kan?
soalnya setiap gue dateng dan duduk, puisi-puisi itu udah ada di sini,”
“Itu dia masalahnya, kita harus cari siapa orangnya!”
“Tapi kan susah, San,”
“Resiko lah, kalo kita mau.........”
peep-peep peep-peep
“Bentar, San, ada SMS,” aku menyela kalimat Sandra. Sandra
menghela nafas, menahan kata-kata yang urung ia ungkapkan.
“Dari siapa, Ta?” tanya Sandra datar.
“083314145656, nomor siapa, ya?”
“Gua nggak tau, udah baca aja buruan..!” Sandra berseru,
kini nampak antusias.
Langit berseri,
Tersenyum penuh arti,
ketika warna indahnya
mendekap raga sang sempurna.
Hari ini...
“Puisi lagi, San..”
“Hah?? Sini gue liat!” Sandra lalu membaca SMS itu. Beberapa
saat dia larut dalam rangkaian kata-kata yang ada di layar HP-ku lalu kemudian
ia berujar, “Canggih, Ta, itu orang udah maen SMS,”
“Nggak penting, San, mau lewat SMS kek, lewat e-mail kek.
Yang bikin gue penasaran bukan itu..”
“Iya gue tau, lo penasaran ama pengirimnya, kan?”
“Bukan,”
“Loh? Jadi?”
“Emm..., arti puisinya, gue nggak ngerti, he he..”
GUBRAK!!!
“Ya udah kita cari tau. Di sini disebutin kalo langit seneng
karena warna dia mendekap raga sang sempurna. Hmmm..., apa, ya...” Sandra
mengetuk-ngetuk telunjuk ke dagunya.
“Apa, San? Emang langit bisa seneng?”
“Tunggu, gua lagi mikir,”
Aku menunggu.
Dapet! Warna langit kan biru, Ta!!”
“Trus?”
“Aduuh..., sweater lo, Cintaa..”
“Sweater gue?” aku menunduk melihat sweater-ku.
“Warna langit ada di sweater lo, raga yang sempurna itu
maksudnya elo, jadi puisi itu tuh ngomongin lo hari ini, Ta. Lo yang lagi pake
sweater biru,”
Aku masih bingung.
Sandra lalu melihat sekeliling ruangan, nampaknya berharap
menemukan orang yang bisa dijadikan ‘tersangka’. “Jono lagi megang HP, Ta!
Mungkin nggak kalo dia?”
“Hah? Gila lo! Jono kan cupu, ngomong aja putus-nyambung,
mana bisa dia bikin puisi..??”
“Oke-oke” Sandra melanjutkan pencarian. “kalo Marlon?”
“Marlon? Sini gue bisikin..”
“HAH?? DIA GAY??”
“Ssssttt...!! Sandraaa..., ngomongnya jangan kenceng-kenceng
dong!”
“Hihi..., Sori-sori, gue kaget, masalahnya gue sempet
ngecengin dia,”
Aku menghela nafas panjang.
“Gue nyerah, Ta. Kayaknya gue nggak bakat jadi detektif..”
“Yee..., siapa juga yang nyuruh...”
Hari itu berlalu bersama rasa penasaran yang masih
menggelantungi pikiran kami.
***
“Sayang, akhir-akhir ini ada orang yang suka ngirimin aku
puisi...” keluhku pada Raka.
“Oh iya? Terus?” Sahut Raka sambil membaca novel ‘twilight’
seri terakhir yang baru saja ia beli.
“Ya aku risih, lagian sebagai pacar aku, emang kamu nggak
cemburu?”
“Udah lah, paling juga orang iseng”
“Tapi sayaang...”
“Cinta udah deh, kayak gitu aja dipikirin, ribet ah!”
Huh, aku kesel banget ama Raka, dia selalu bersikap cuek
seperti itu. Kadang aku merasa kalo dia bukan tipe cowok idaman, dia jarang
bersikap manis kepadaku, jangankan menulis puisi, bersikap sedikit romantis
saja kelihatannya begitu sulit. Aku tahu, sebenarnya dia mencintaiku, mungkin
dia cuma bukan tipe cowok romantis yang bisa merangkai kata-kata manis buat
pacarnya. Tapi sebagai seorang cewek normal, kadang aku juga ingin diperlakukan
seperti itu.
“Permisi...!!” suara seseorang di depan pintu mengacaukan
khayalku.
“Ada yang dateng, aku buka pintu dulu, ya..” kataku pada
Raka. Dia Cuma mengangguk tanpa berhenti membaca. Huh!
CKLEK, kubuka pegangan pintu. Seseorang yang nampak asing
bagiku berdiri tegak di depan pintu.
“Siang, Mbak, ada kiriman bunga..”
“Bunga? Dari siapa?”
“Maaf, Mbak, pengirim meminta identitasnya dirahasiakan,”
“Yaaah ada-ada aja sih, ya udah deh sini,” Aku pun mengambil
bunga itu. Setelah aku menandatangani tanda terima, si Mas tadi buru-buru
pergi, Belum sempat aku mengucapkan terima kasih. Ya sudahlah.
Ada secarik kertas menggantung di situ. Lalu kubaca.
Ribuan hari bukan sesuatu,
Karena sedetik lebih bermakna
ketika kau ada di sini,
Mencengramku kuat dengan khayal itu,
Hingga enggan terlepasku
Karena terbuai silaunya.
Aku mencintaimu..
Waaaa puisi lagi!! Ingin rasanya aku mencabik-cabik kertas
itu sehingga tak dapat kubaca lagi kata-kata di dalamnya. Dan kusebarkan
serpihannya di muka si misterius, biar dia tau kalau aku tidak suka dengan apa
yang dia lakukan.
“Siapa yang dateng?” Raka menghampiriku.
“Tukang kembang, ngirim ini, nih,” kuperlihatkan karangan
bunga itu dan juga kertas menyebalkan yang menyertainya.
Raka hanya melihatnya dengan sekilas, dan mengembalikannya
padaku. “Oh, kirain siapa,”
Aku sedikit kecewa melihat respon dia, dingin sekali.
“Aku pulang dulu, ya, barusan mama nelfon, minta anter
belanja. dagh sayang,” katanya sambil berlalu setelah mencium keningku.
Aku speechless.
***
“San, lo kapan mau ke rumah gue?”
“Bentar lagi ya, Ta, gue nunggu orang-orang rumah pada cabut
dulu, mereka mau pada pergi ke Bogor, gua nggak akan ikut kok,” jawab Sandra di
ujung telfon.
“Oh, ya udah, cepetan ya San, ntar keburu nggak mood
ngerjain tugasnya,”
“Alah, biasanya juga ujung-ujungnya kita ngegosip, haha..”
Tawa kami mengantarkan kami ke akhir percakapan sore itu.
“Ya udah, gua tutup telfonnya, ya, San, buruan lo ke sini!
Daagh...” KLIK. kututup telfon, dan mulai menghitung waktu, menanti kedatangan
Sandra.
Sambil menunggu Sandra, aku membuka buku biologiku, mencoba
membaca-baca materi yang sudah Pak Arifin kasih kemarin, bahan untuk
mengerjakan tugas yang akan aku kerjakan bersama Sandra sekarang. Tiba-tiba
secarik kertas jatuh melayang ke lantai. Aku kesal sekali, sudah kupastikan
kalau itu puisi lagi. Kupungut kertas itu dari lantai, dengan kesal langsung
kubaca tulisannya.
THANKS CINTA PINJEMAN BUKUNYA,
SALAH SENDIRI TULISANNYA BAGUS
JADI GUA BETAH PINJEMNYA, HEHE,
LAIN KALI PINJEM LAGI YA..
-RIKO-
Hihi..., ternyata dari Riko, seminggu yang lalu dia emang
pinjem buku aku. Aku tersenyum geli, ada perasaan ingin minta maaf pada si
misterius karena telah berburuk sangka padanya tadi.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, menikmati angin
yang berhembus dari sela-sela jendela yang sedikit kubuka. Kesadaranku sedikit
berkurang, larut dalam kenyamanan yang membuaiku, pelan-pelan pikiranku
terhempas jauh ke alam bawah sadarku, masih sedikit sadar kurasakan kalau aku
mulai tertidur. Nikmat sekali.
***
“Cinta lo gimana sih, kemaren gua mencet-mencet bel rumah lo
sampe bengkak nih telunjuk!”
“Hehe...maaf, San, gue kemaren ketiduran, gue kebangun jam
11 malem tuh,”
“Panteess, emang di rumah lo nggak ada siapa-siapa ya?”
“Bokap masih tugas di Bengkulu, Nyokap kemaren pulang malem,
lagian kan lo tau sendiri di rumah gue nggak ada pembantu. Maafin gue ya, San,”
“Iya, santai aja,” jawab Sandra sambil tersenyum.
“Jadi kemaren lo pulang lagi?” basa-basi ku
“Iya lah, lo kira gua satpam, nongkrong-nongkrong di depan
rumah lo?”
Aku geli mendengar jawaban Sandra yang kadang ceplas-ceplos.
Matahari bersinar cerah sekali, udara segar mengelilingi
kami berdua yang selalu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Lagipula
jarak rumah dan sekolah kami memang tidak terlalu jauh, sepuluh menit berjalan
kaki sudah cukup untuk mengantarkan kami di depan gerbang sekolah berpagar
hijau itu. Dan pagi ini kami sengaja pergi lebih awal dari biasanya, berharap
masih punya sedikit waktu untuk mengerjakan sisa tugas yang urung kami kerjakan
kemarin sore.
“Masih sepi, Ta!” seru Sandra sesampainya di depan gerbang
sekolah.
“Iya juga, ya,” kataku sambil melihat jam tanganku. “Jam
setengah tujuh, San, kita nggak kepagian, kan?”
Sandra menggeleng. “Masuk yuk,”
Kami berdua melangkah masuk ke dalam sekolah, menuju kelas 2
IPA 1, kelas kami yang berada di ujung koridor. Kami membuka pintu kelas yang masih
tertutup, dan sangat terkejut ketika melihat seseorang sedang melakukan sesuatu
di sekitar bangku kami.
“HEY!!” teriak Sandra pada orang itu. Dia menoleh kaget.
“RIKO?!!” seru kami berdua dengan perasaan tak percaya. Kami
pun menghampirinya.
“Ngapain lo di sini?!” gertak Sandra sambil mencengkeram
erat tangan Riko.
“A-anu, San..., i-itu..”Riko tak bisa menjawab pertanyaan
Sandra. Dia terlihat sangat gugup.
Aku mengambil sebuah amplop yang nampaknya baru saja Riko
simpan di sana, di kolong bangkuku. Kubuka dan kubaca kertas di dalamnya.
Kau adalah satu,
Kau indahkan hariku
Kau adalah putih di antara hitam hariku
Kau adalah cinta di dalam suram amarahku,
Aku adalah waktu,
Yang terberai lalu berlalu...
Aku adalah malaikat itu,
Yang mencari sayap patahku..
Dan kau adalah detik dari waktu,
Yang ku harap tak berlalu..
Dan kau adalah sayapku,
Yang hampaku tanpa terbangku..
Aku, kamu, satu..
Kutatap Riko yang masih tunduk tak berdaya di dalam
cengkeraman Sandra. “Jadi elo, Rik, yang selama ini nyimpen puisi-puisi di
kolong bangku gue?” tanyaku.
“Emm..., i-iya, Ta, eh, t-tapi b-bbukan..” jawab Riko
terbata-bata.
“Lo jawab yang bener, dong! Iya, apa bukan!!” gertak Sandra
sambil mempererat cengkeramannya di tangan Riko.
“Aduh...aduh, sa-sakit, San.” Riko meringis kesakitan, tak
tega aku melihatnya. Ku beri Sandra isyarat untuk melepaskan Riko.
“Jadi gimana, Rik, cerita yang sebenernya?” tanyaku pada
Riko yang tertunduk lesu dan masih terus mengusap-usap tangannya yang menjadi
korban ‘kebiadaban’ Sandra tadi.
“Oke, gue cerita. Gue akuin emang gue yang selalu nyimpen
puisi-puisi itu di kolong bangku lo, Ta, tapi cuma sebatas itu, gue cuma
disuruh nyimpen aja, dan itu bukan puisi-puisi gue,”
“Jadi? Tanyaku penasaran, tapi Riko tak melanjutkan kata-katanya.
“Lo kalo cerita yang jelas dong, Rik!” bentak Sandra.
“I-iya...iya” nampaknya Riko takut sekali pada Sandra. “Raka
yang nyuruh gue, Ta..”
“Hah? Cowo gue?” Riko mengangguk. “Tapi buat apa, Rik?”
“Mana gue tau, yang penting gue dapet pulsa setiap kali jadi
kurir puisi,” kata Riko sambil senyum-senyum. Gila kali itu anak.
“Bener puisi-puisi itu dari cowo gue? Jangan-jangan lo
boong?”
“Demi Tuhan, Ta, gue nggak boong,”
Aku berfikir sejenak. “Ya udah, lo nggak usah bilang ya sama
Raka tentang kejadian ini, biarin aja berjalan kayak biasanya, dan masalah
puisi, kalo dia masih nyuruh lo jadi kurir puisi, lo nurut aja, biarin gue ama
dia yang nyelesein masalah ini pelan-pelan,”
“Tapi, Ta?” sela Sandra.
Aku menempelkan telunjuk di bibirku.
“Lo boleh pergi, Rik,”
Riko lalu pergi tanpa kata-kata.
Sandra pun nampak terdiam, dia mungkin tak tahu harus
bagaimana. Dan aku, campur aduk rasanya. Perasaan kaget, senang, tak percaya,
dan sedikit kesal berbaur halus di dalam benakku.
***
Jam di tanganku menunjukkan pukul 17.30, masih duduk di
ruang tamu sambil mendengarkan iPod yang baru saja ku beli seminggu yang lalu,
sampai akhirnya terdengar deru sepeda motor di halaman rumahku. Aku bergegas
keluar.
“Sayang? Kok ga bilang kalo mau dateng?”
“Emang ga boleh, ya?” jawabnya datar.
“Ya, boleh, sih..”
Aku menghampiri Raka, tanpa rasa gengsi aku memeluknya.
“Loh? Kenapa, Ta tiba-tiba meluk aku?”
“Emang ga boleh, ya?” Aku meniru ucapan Raka tadi “Aku
sayang kamu..”
Raka masih terlihat bingung. Aku tak peduli, aku pun sama
sekali tak mau membahas kejadian di kelas tadi pagi, aku tak mau Raka berhenti
memberiku puisi-puisi itu jika dia tahu masalah tadi. Aku ingin Raka bersikap
romantis dengan caranya, aku suka puisi-puisi itu, aku suka kalo si misterius
itu ternyata pacarku sendiri, aku sayang Raka.
Raka membalas pelukanku sambil berkata, “Aku juga sayang
kamu, Ta..”
Aku menangis bahagia dalam pelukannya.