My First (Impressive) Kiss

Thursday, November 8, 2012


“Gue di halte”

“Halte mana?”

“Cipaganti”

“Lah, di situ ada beberapa halte, neng...”

“Susuri aja, dari ujung ke ujung. Udah ya, pulsa gue abis. Please come right away...”

Beberapa potong kata dalam bahasa Inggris itu mengantarkan Bayu dan Arnia ke ujung percakapan mereka di telepon sore itu. Seperti biasa, Bayu kembali menjadi pelampiasan perasaan Arnia ketika cewek itu sedang galau. Mungkin.

“Lo kenapa?” tanya Bayu datar sambil mencari posisi duduk yang pas di sebelah Arnia.
Arnia Cuma menggeleng. Dengan rokok yang masih menyala di tangan kirinya, tatapan Arnia mengawang entah kemana.

“Si Genta lagi?” Bayu bertanya dengan tensi sedikit meninggi. Dia kemudian mengambil rokok yang terjepit lemah di antara jemari Arnia tadi, menghisapnya beberapa kali sampai akhirnya dia jatuhkan tepat di bawah kakinya. Diinjaknya hingga tak tersisa bara api di sana, hanya kepulan asap sisa pembakaran rokok tadi.  “Lo udah janji buat berhenti ngerokok, Ni...”

Arnia bergeming. Tatapan kosongnya tak beranjak sedari tadi. Seolah Bayu hanya jelmaan dari sebuah radio usang yang terdengar tanpa harus diperdulikan. Aneh, mereka berada di sana tanpa percakapan berarti. Bayu pun nampak sibuk sendiri dengan telepon genggamnya. Arnia terus menghabiskan batang demi batang rokok yang dia punya. Bayu tak memerdulikannya, dia hanya sesekali melihat gadis cantik itu bermain-main dengan asap yang kadang tebal, kadang tipis. Lalu lalang kendaraan di hadapan mereka hanya menjadi pelengkap suasana canggung sore itu.

Merasa jenuh dengan suasana, Bayu membuka suara. “Udah mulai malem, gua anter lo pulang” Ucap bayu sambil menaikan resleting jaketnya.

“Ngga, Bay..., gua belum mau pulang, gua masih butuh lo, ada beberapa hal yang pengen gua ceritain sama lo...”

Bayu tidak memberi respon atas permintaan Arnia, dia Cuma menatap lurus, tepat ke kedua mata Arnia yang tatapannya sudah tidak sekosong tadi.
“Please, Bay...”

Rajukan itu. Membuat Bayu kalah, ego dia seperti meleleh, terbakar oleh rasa cinta dia kepada Arnia yang sudah dia tahan sejak setahun lalu. Sejak setahun itu dia tidak pun memiliki kekasih. Dia mungkin berharap besar akan balas cinta Arnia. Atau mungkin dia tidak mempunyai waktu untuk itu. Entahlah.
“Ya udah, kita cari tempat lain aja. Ga enak di sini...”

“Ke mana?”

“Udah ikut aja” kata Bayu sambil menyodorkan sebuah helm hitam yang warnanya mulai mengabu karena luntur ditempa matahari terus-menerus. Butut.

“Yakin gua harus pake helm ini, Bay?” Arnia terlihat sedikit meringis.
“Gua gapunya Yaris, Ni. Gua bukan Pangeran Genta lo. Jangan manja” tukas Bayu sambil langsung memasangkan helm itu di kepala Arnia.

Arnia cemberut.

“Tutup kaca helmnya!”

“Pengap, Bay...”

Tanpa kata, Bayu langsung menutup kaca helm itu.

“Bayuuu...” Arnia memelas.

“Lo itu cewek orang, Ni..., Gua ngga mau ada yang ngenalin lo, dan liat lo dibonceng cowo laen”

“Hmmmm...”

“Ayo naik!”
***


Mereka tiba di suatu tempat, daerah dataran tinggi di kota Bandung. Seperti sebuah bukit. Hari yang sudah gelap tidak bisa menerangi pemandangan yang ada di hadapan mereka. Yang terlihat hanya kilauan-kilauan lampu dari kejauhan, mungkin lampu-lampu rumah penduduk Bandung, atau mungkin lampu-lampu jalan. Nampak pula cahaya-cahaya yang bergerak. Pasti itu lampu-lampu kendaraan yang hilir mudik di sana.

Mereka duduk di ujung jurang dangkal yang dindingnya sudah berbalut batu dan semen. Mereka menjuntaikan kaki tanpa merasa ngeri.

“Lo mau cerita apa?”

“Lo pasti bosen dengerin cerita gue, Bay”

“Genta?”

Arnia mengangguk.

“Ya udah, cerita aja...”

Bukannya bercerita. Arnia malah tertunduk sambil menggerak-gerakan kakinya.

“Selingkuh sama siapa lagi dia sekarang? Vera? Sherly? Anna? Quinsha?”

Masih tertunduk, Arnia Cuma menggeleng.

“Cewek baru lagi?”

Arnia tidak menjawab.

“Lo kok bisa pertahanin dia sih, Ni?”

“Lo juga tau jawabannya...”

“Apa? Sayang? Tapi ngga gini juga! Everyone doesn’t deserve a third chance, apalagi yang keempat, kelima...”

“Mungkin dia bisa berubah”

Bayu membuang pandangannya. “Terserah lo deh...”

“Lo ga usah sewot bisa kan, Bay? Gua Cuma butuh orang yang bisa dengerin cerita gua! Bukan yang nge-judge, apalagi ngambek-ngambek kayak gini!”

“Sorry ya, Ni. Tapi elo udah melibatkan gua di setiap masalah lo sama Genta!”

“Oooh, jadi lo nyesel?! Kenapa ga bilang dari dulu?! Gua masih bisa nyari orang laen buat dengerin cerita-cerita gua kok, bukan orang munafik kayak lo!”

“Your words!”

“Apa? Ga terima? emang gitu kan kenyataannya?!”

“Dengerin, Arnia! Lo ngelibatin gue di setiap konflik lo sama Genta, dan itu secara ga langsung bikin rasa empati gua tambah kuat sama lo! Lo pikir gua tega liat lo diginiin terus sama itu cowok?” Bayu meradang.

“Hak lo apa?”

“Gua emang ga punya hak..”

“Ya terus?”

“Gua kayak gini karena gua sayang sama lo...” Ucap Bayu melunak.

“Gua lagi ga mau bercanda ya, Bay. Sorry...”

“Terserah kalo lo nggak percaya”

“Hmmmm...”

“Kenapa?”

“Sejak kapan?”

“Apa?”

“Lo suka sama gua”

“Bukan suka; sayang...”

Arnia sesaat tersenyum. “Yaa, sejak kapan lo sayang sama gua?”

“Waktu cuma alesan gimana rasa kita bisa bertambah kuat atau pudar bahkan menghilang”

Arnia tersenyum. “Ga usah berfilosofi, Bay. Lo malu kan kalo gua tau ternyata lo udah lama sayang sama gua, tapi lo ga pernah berani nyatain itu?”

Bayu terdiam, seolah kata-kata Arnia tadi adalah sumpal yang terjejal kuat ke mulutnya sehingga tak ada kata lagi yang bisa meluncur dari sana. Dia tentu saja tidak mau dianggap pengecut.
Bayu kemudian meraih tubuh Arnia, dan mendaratkan tubuh mungil itu di sandarannya. Arnia tidak berontak, dia mengikuti setiap adegan yang sedang Bayu buat di antara mereka. Sesaat, pandangan mereka bertemu di udara. Tanpa kata, hanya degup kencang dari jantung yang memompa kuat adrenalin mereka. Bayu mengusap wajah Arnia, mengagumi setiap detil yang Tuhan buat di sana. “Kamu cantik...” Puji Bayu.

Arnia tersenyum, dan sesekali mencoba membuang pandangannya, mencoba mencari objek di sekelilingnya untuk dijadikan pelarian pandangan dia dari tatapan Bayu. Salah tingkah nampaknya.
Bayu menarik lembut wajah Arnia, mencoba mengembalikan tatapan indah itu untuk mendarat kembali di matanya. Namun kali ini tatapan Arnia tidak sesantai sebelumnya. Jantungnya berdegup lebih kencang, dengan nafas yang menjadi tak beraturan. Beberapa kali ia menelan ludah, mencoba mengatur irama jantungnya, mencoba meredakan gemetar-gemetar kecil di tubuhnya. Hingga Bayu memperkecil jarak di antara wajah mereka. Membuat kedua wajah itu berada di jarak terdekatnya.

Mengejutkan bagi Arnia, Bayu mendaratkan kecupan kecil di bibirnya. Degup jantung Arnia kini berada di frekuensi tertingginya. Berlomba dengan gejolak aneh di dalam hatinya. Arnia seolah terkunci di situ, dia tidak berontak, dia malah menyambut kecupan itu dengan kecupan lembut lainnya, dan membiarkan adegan itu mengalir tanpa interupsi.

Tersadar dari suasana yang telah membawa mereka, Bayu buru-buru melepaskan ciumannya. Dia bersikap canggung dan bergeser beberapa sentimeter dari tempat ia tadi berada.

“M-m-maaf, Ni...” Ucap Bayu terbata.

Arnia lalu merapikan diri dari beberapa detik yang unpredictable itu.

“Apa yang lo rasain?” tanya Bayu

“Ciuman”

“Cuma itu?”

“My guys did better, Bay..., hehe...”

“Sialan” Ujar Bayu sambil mengusap mukanya yang sedikit berpeluh.
 

©Copyright 2011 Pabrik Huruf | TNB