“Gue di halte”
“Halte mana?”
“Cipaganti”
“Lah, di situ ada beberapa halte, neng...”
“Susuri aja, dari ujung ke ujung. Udah ya, pulsa gue abis.
Please come right away...”
Beberapa potong kata dalam bahasa Inggris itu mengantarkan
Bayu dan Arnia ke ujung percakapan mereka di telepon sore itu. Seperti biasa,
Bayu kembali menjadi pelampiasan perasaan Arnia ketika cewek itu sedang galau.
Mungkin.
“Lo kenapa?” tanya Bayu datar sambil mencari posisi duduk
yang pas di sebelah Arnia.
Arnia Cuma menggeleng. Dengan rokok yang masih menyala di
tangan kirinya, tatapan Arnia mengawang entah kemana.
“Si Genta lagi?” Bayu bertanya dengan tensi sedikit
meninggi. Dia kemudian mengambil rokok yang terjepit lemah di antara jemari
Arnia tadi, menghisapnya beberapa kali sampai akhirnya dia jatuhkan tepat di
bawah kakinya. Diinjaknya hingga tak tersisa bara api di sana, hanya kepulan
asap sisa pembakaran rokok tadi. “Lo
udah janji buat berhenti ngerokok, Ni...”
Arnia bergeming. Tatapan kosongnya tak beranjak sedari tadi.
Seolah Bayu hanya jelmaan dari sebuah radio usang yang terdengar tanpa harus
diperdulikan. Aneh, mereka berada di sana tanpa percakapan berarti. Bayu pun
nampak sibuk sendiri dengan telepon genggamnya. Arnia terus menghabiskan batang
demi batang rokok yang dia punya. Bayu tak memerdulikannya, dia hanya sesekali
melihat gadis cantik itu bermain-main dengan asap yang kadang tebal, kadang
tipis. Lalu lalang kendaraan di hadapan mereka hanya menjadi pelengkap suasana
canggung sore itu.
Merasa jenuh dengan suasana, Bayu membuka suara. “Udah mulai
malem, gua anter lo pulang” Ucap bayu sambil menaikan resleting jaketnya.
“Ngga, Bay..., gua belum mau pulang, gua masih butuh lo, ada
beberapa hal yang pengen gua ceritain sama lo...”
Bayu tidak memberi respon atas permintaan Arnia, dia Cuma
menatap lurus, tepat ke kedua mata Arnia yang tatapannya sudah tidak sekosong
tadi.
“Please, Bay...”
Rajukan itu. Membuat Bayu kalah, ego dia seperti meleleh,
terbakar oleh rasa cinta dia kepada Arnia yang sudah dia tahan sejak setahun
lalu. Sejak setahun itu dia tidak pun memiliki kekasih. Dia mungkin berharap
besar akan balas cinta Arnia. Atau mungkin dia tidak mempunyai waktu untuk itu.
Entahlah.
“Ya udah, kita cari tempat lain aja. Ga enak di sini...”
“Ke mana?”
“Udah ikut aja” kata Bayu sambil menyodorkan sebuah helm
hitam yang warnanya mulai mengabu karena luntur ditempa matahari terus-menerus.
Butut.
“Yakin gua harus pake helm ini, Bay?” Arnia terlihat sedikit
meringis.
“Gua gapunya Yaris, Ni. Gua bukan Pangeran Genta lo. Jangan
manja” tukas Bayu sambil langsung memasangkan helm itu di kepala Arnia.
Arnia cemberut.
“Tutup kaca helmnya!”
“Pengap, Bay...”
Tanpa kata, Bayu langsung menutup kaca helm itu.
“Bayuuu...” Arnia memelas.
“Lo itu cewek orang, Ni..., Gua ngga mau ada yang ngenalin
lo, dan liat lo dibonceng cowo laen”
“Hmmmm...”
“Ayo naik!”
***
Mereka tiba di suatu tempat, daerah dataran tinggi di kota
Bandung. Seperti sebuah bukit. Hari yang sudah gelap tidak bisa menerangi
pemandangan yang ada di hadapan mereka. Yang terlihat hanya kilauan-kilauan
lampu dari kejauhan, mungkin lampu-lampu rumah penduduk Bandung, atau mungkin
lampu-lampu jalan. Nampak pula cahaya-cahaya yang bergerak. Pasti itu
lampu-lampu kendaraan yang hilir mudik di sana.
Mereka duduk di ujung jurang dangkal yang dindingnya sudah
berbalut batu dan semen. Mereka menjuntaikan kaki tanpa merasa ngeri.
“Lo mau cerita apa?”
“Lo pasti bosen dengerin cerita gue, Bay”
“Genta?”
Arnia mengangguk.
“Ya udah, cerita aja...”
Bukannya bercerita. Arnia malah tertunduk sambil
menggerak-gerakan kakinya.
“Selingkuh sama siapa lagi dia sekarang? Vera? Sherly? Anna?
Quinsha?”
Masih tertunduk, Arnia Cuma menggeleng.
“Cewek baru lagi?”
Arnia tidak menjawab.
“Lo kok bisa pertahanin dia sih, Ni?”
“Lo juga tau jawabannya...”
“Apa? Sayang? Tapi ngga gini juga! Everyone doesn’t deserve
a third chance, apalagi yang keempat, kelima...”
“Mungkin dia bisa berubah”
Bayu membuang pandangannya. “Terserah lo deh...”
“Lo ga usah sewot bisa kan, Bay? Gua Cuma butuh orang yang
bisa dengerin cerita gua! Bukan yang nge-judge, apalagi ngambek-ngambek kayak
gini!”
“Sorry ya, Ni. Tapi elo udah melibatkan gua di setiap
masalah lo sama Genta!”
“Oooh, jadi lo nyesel?! Kenapa ga bilang dari dulu?! Gua
masih bisa nyari orang laen buat dengerin cerita-cerita gua kok, bukan orang
munafik kayak lo!”
“Your words!”
“Apa? Ga terima? emang gitu kan kenyataannya?!”
“Dengerin, Arnia! Lo ngelibatin gue di setiap konflik lo
sama Genta, dan itu secara ga langsung bikin rasa empati gua tambah kuat sama lo!
Lo pikir gua tega liat lo diginiin terus sama itu cowok?” Bayu meradang.
“Hak lo apa?”
“Gua emang ga punya hak..”
“Ya terus?”
“Gua kayak gini karena gua sayang sama lo...” Ucap Bayu
melunak.
“Gua lagi ga mau bercanda ya, Bay. Sorry...”
“Terserah kalo lo nggak percaya”
“Hmmmm...”
“Kenapa?”
“Sejak kapan?”
“Apa?”
“Lo suka sama gua”
“Bukan suka; sayang...”
Arnia sesaat tersenyum. “Yaa, sejak kapan lo sayang sama
gua?”
“Waktu cuma alesan gimana rasa kita bisa bertambah kuat atau
pudar bahkan menghilang”
Arnia tersenyum. “Ga usah berfilosofi, Bay. Lo malu kan kalo
gua tau ternyata lo udah lama sayang sama gua, tapi lo ga pernah berani nyatain
itu?”
Bayu terdiam, seolah kata-kata Arnia tadi adalah sumpal yang
terjejal kuat ke mulutnya sehingga tak ada kata lagi yang bisa meluncur dari
sana. Dia tentu saja tidak mau dianggap pengecut.
Bayu kemudian meraih tubuh Arnia, dan mendaratkan tubuh
mungil itu di sandarannya. Arnia tidak berontak, dia mengikuti setiap adegan
yang sedang Bayu buat di antara mereka. Sesaat, pandangan mereka bertemu di
udara. Tanpa kata, hanya degup kencang dari jantung yang memompa kuat adrenalin
mereka. Bayu mengusap wajah Arnia, mengagumi setiap detil yang Tuhan buat di
sana. “Kamu cantik...” Puji Bayu.
Arnia tersenyum, dan sesekali mencoba membuang pandangannya,
mencoba mencari objek di sekelilingnya untuk dijadikan pelarian pandangan dia
dari tatapan Bayu. Salah tingkah nampaknya.
Bayu menarik lembut wajah Arnia, mencoba mengembalikan
tatapan indah itu untuk mendarat kembali di matanya. Namun kali ini tatapan
Arnia tidak sesantai sebelumnya. Jantungnya berdegup lebih kencang, dengan
nafas yang menjadi tak beraturan. Beberapa kali ia menelan ludah, mencoba
mengatur irama jantungnya, mencoba meredakan gemetar-gemetar kecil di tubuhnya.
Hingga Bayu memperkecil jarak di antara wajah mereka. Membuat kedua wajah itu berada
di jarak terdekatnya.
Mengejutkan bagi Arnia, Bayu mendaratkan kecupan kecil di
bibirnya. Degup jantung Arnia kini berada di frekuensi tertingginya. Berlomba
dengan gejolak aneh di dalam hatinya. Arnia seolah terkunci di situ, dia tidak
berontak, dia malah menyambut kecupan itu dengan kecupan lembut lainnya, dan
membiarkan adegan itu mengalir tanpa interupsi.
Tersadar dari suasana yang telah membawa mereka, Bayu
buru-buru melepaskan ciumannya. Dia bersikap canggung dan bergeser beberapa
sentimeter dari tempat ia tadi berada.
“M-m-maaf, Ni...” Ucap Bayu terbata.
Arnia lalu merapikan diri dari beberapa detik yang
unpredictable itu.
“Apa yang lo rasain?” tanya Bayu
“Ciuman”
“Cuma itu?”
“My guys did better, Bay..., hehe...”
“Sialan” Ujar Bayu sambil mengusap mukanya yang sedikit
berpeluh.