"Nona, haaii kamu ngapain disini?" Ayu
mengagetkanku dengan pertanyaannya itu.
"Ayu, ini Ayu teman SMA ku, kan? ya ampun kok kita bisa
ketemu disini ya. Aku lagi ngajak maen anakku. Kamu sendiri ngapain, Yu?".
Dan kami saling bersalaman dan beradu pipi. Biasa kalau
ibu-ibu sudah lama tidak bertemu ya begitu. Lalu kami melanjutkan percakapan di
dalam mobil. Aku mengantarkan Ayu dan
anaknya pulang. Di perjalanan kami sibuk bercakap kesana kemari. Dimulai dari
kenakalan masa-masa sekolah, gebetan waktu di sekolah dulu, guru-guru galak di
sekolah kami hingga masalah keluarga baru kami masing-masing. Saking sibuknya,
kami tidak menyadari kalau mobil yang membawa kami sudah tiba di kediaman Ayu. Kami
turun sambil menggendong anak-anak kami yang masih terlelap selama perjalanan
tadi.
Begitu aku memasuki rumah Ayu, aku merebahkan anakku di sofa
tamu dan Ayu mengantarkan anaknya ke tempat tidur. Sembari menunggu Ayu, aku
melihat-lihat foto yang terpasang di dinding ruang tamu rumah Ayu. Kuperhatikan
satu persatu foto-foto itu. Lalu pandanganku terhenti pada satu foto masa kecil
Ayu dimana ada sosok wanita disampingnya yang ku kenali. Tunggu, bukankah itu
ibu Rini, guru Bahasa Indonesiaku waktu SD dulu? Lalu, apa hubungan Ayu dengan
beliau?
Tak lama Ayu datang dan menyuguhiku segelas minuman segar
dan beberapa toples makanan ringan. Ayu mempersilakanku menyicipi hidangan tamu
tersebut. Kemudian aku membuka percakapan dengan Ayu.
"Itu foto siapa, Yu?". Tanyaku sambil menunjuk
salah satu foto di ruang tamu.
"Yang mana? Yang ada aku waktu kecil itu, bukan?"
Jawab Ayu sambil mengambil gelas minumnya.
"Iya, iya yang itu" Jawabku penasaran.
"Oh, itu Ibuku Na, kenapa? Kamu kenal?" Ayu
membalas bertanya padaku.
"Haa? Ibumu? itu Ibu Rini, kan, Yu? Dulu beliau pernah
mengajar Bahasa Indonesia di sekolah dasar, kan? Jadi beliau ibumu, ya? Ya
ampun, beneran deh aku ga nyangka kamu anaknya bu Rini." Ucapku kaget
bercampur antusias.
"Iya, Ibu dulu pernah ngajar di SD. Emangnya kenapa,
Na? Jangan bilang kalo Ibu pernah ngajar kamu."
"Haha, ternyata benar ya, dunia ini tak selebar daun
kelor. Ternyata guru favoritku dulu itu ibu temanku sendiri. What a
surprise!" Ungkapku.
"Humm" Ayu menunjukkan raut sedih.
"Kamu kenapa, Yu? Kok tiba-tiba jadi sedih gitu, ada
yang salah, ya?" Tanyaku dengan sedikit ekspresi seperti orang yang merasa
bersalah.
" Engga Na, aku sedih aja kalo inget dulu. Dulu Ibuku
yang kuat, ceria, tegas dan pintar membuat suasana bahagia sekarang hanya bisa
duduk di kursi roda. Ibu terkena stroke Na." Ungkap Ayu lirih.
Aku turut merasa bersedih mendengar cerita Ayu tentang
ibunya yang sekaligus guruku dulu itu. Aku juga tak menyangka kalau ibu Rini
mengalami kecelakaan yang membuatnya terbaring lama dan tak sadarkan diri
hingga akhirnya harus duduk di kursi roda. Mendengar cerita Ayu tadi, aku tak
kuasa menahan haru. Lalu aku meminta Ayu untuk mempertemukanku dengan
pahlawanku di masa kecil itu.
Kulihat sesosok wanita tua dengan kursi roda sedang lelap
dalam tidurnya. Ayu bilang, ibu memang begitu. Ibu tak mau menyuruh anaknya
atau siapapun untuk memindahkannya ke tempat tidur kecuali kalau badannya sudah
mulai sakit karena kelamaan duduk. Alasannya supaya gampang kemana-mana. Supaya
ibu bisa jalan-jalan sendiri tanpa menyusahkan Ayu.
Sungguh, bu Rini masih sama seperti dulu. Aku semakin kagum
padanya. Akupun tak kuasa mengganggu tidur lelapnya itu. Ku lihat raut wajah bu
Rini yang terlihat semakin menua, rambutnya sudah mulai memutih. Kulitnya mulai
keriput, tetapi senyumnya masih sama seperti bu Rini jaman aku sekolah dulu.
Khas. Seandainya ia terbangun, apakah ia masih mengenaliku? Apakah ia masih
mengingatku sebagai muridnya dulu? Apakah ia masih mampu merangkai kata-kata
dan membacakan puisi untukku?
Untuk bu Rini, guruku.
Engkau wanita kokoh dengan seuntai senyum itu
Kini kulihat kau terkulai lemah diatas kursi rodamu
Wajah keriput dan rambut putih itu mulai menjadi cirimu
Sedikit ingatanku tentangmu dulu, waktu kau mendidik dan
mengajariku
Jika aku boleh memintamu seperti dulu, seperti waktu itu
Aku ingin mengulang kembali masa dimana engkau menjadi
guruku
Masa dimana kau memberiku puisi-puisi indahmu
Engkau wanita yang tak pernah membekaskan marah itu
Kini senyummu tak seindah dan selebar dulu
Sakit yang menggerogoti setiap inci tulangmu
Membuat siapapun iba melihatmu
Tetapi aku tahu, kau pasti sanggup melawan sakit itu
Melihat kondisi bu Rini tadi, aku merasa harus
memperjuangkan masa mudaku untuk membahagiankan orang-orang disekelilingku.
Karena aku tak akan pernah tahu kapan musibah akan datang menimpaku. Aku ingin
seperti bu Rini, dalam kesakitannya masih bisa membahagiakan orang-orang di
dekatnya. Aku ingin di masa tua ku nanti, aku bisa merasakan ketenangan hati
dan jiwa seperti yang bu Rini rasakan. Dan di masa tuaku nanti, aku ingin
menghabiskan sisa hidupku dengan orang-orang yang menyayangiku seperti Ayu
menyayangi bu Rini. Sejak saat itu, Ayu dan aku semakin intens bertemu. Dan bu
Rini pun masih mengenali sosokku sebagai muridnya dulu.