Di sela-sela kesibukan pekerjaannya, Tari masih memikirkan siapa si pemuja rahasia yang selama ini menghantui kehidupannya. Bukannya senang, Tari malah ketakutan. Bagaimana tidak. Bayangkan saja jika kita mendapatkan pesan-pesan romantis setiap hari. Bahkan setiap saat. Sudah seperti di serang teroris saja. Sudah satu minggu lebih si pemuja rahasia itu mengirimkan puisi-puisi, kata-kata cinta dan pujian-pujian kepada Tari. Belum lagi bunga dan bingkisan lainnya yang diikutsertakan oleh orang aneh ini. Benar-benar rapi dan teratur. Seperti sudah direncanakan sebelumnya. Seperti biasa, Tari membuka email dan ia kembali diresahkan dengan puluhan pesan masuk yang dikirim oleh si pemuja rahasia.
"Ini sih namanya udah spam-ing, tiap gw buka email pasti orang aneh itu lagi yang ngirim. Udah gitu isinya gitu-gitu mulu. Bikin gw takut aja sih nih orang." Tari mengeluh.
Kali ini Tari tidak ambil pusing dan tidak terlalu memikirkan tentang pesan-pesan dari orang itu. Tari sudah mulai terbiasa membacanya. Meskipun setiap kali membaca isi pesan itu Tari pasti langsung menggerutu sendiri.
To : Secret Admirer
Subject : ENOUGH!
Siapapun
kamu, aku gak pernah peduli. Aku juga gak tahu siapa kamu, dan aku gak
akan pernah mau tahu siapa kamu. Yang ingin aku tanyakan adalah kenapa
harus aku objek yang kamu teror setiap saat? Apa aku punya salah sama
kamu? Aku sudah cukup muak membaca pesan yang berbeda-beda darimu. Aku
mohon, kalau kamu memang laki-laki sejati, tunjukkan dirimu. Jangan
bersembunyi dibalik kata-kata romantismu itu. Karena aku sama sekali
tidak menyukainya.
Thanks.
Tidak lama kemudian, ada balasan pesan masuk ke email Tari. Tidak seperti biasanya, si pengirim rahasia itu kini membalas pesan Tari.
From : Secret Admirer
Subject : I am really sorry
Aku akan menemuimu saat hari ulang tahunmu tiba. :)
"Cuma gini doang? Orang aneh itu cuma bales email gw
yang panjang lebar hanya dengan ngomong kayak gitu doang? Sumpah ya,
kalo ternyata beneran dia nemuin gw, gw bakalan maki-maki dia,
marah-marahin dia, kalo perlu gw tamparin wajahnya." Tari bergumam.
Hari ini, Tari pulang lebih telat dari biasanya. Bosnya yang expat lagi ada di Bandung. Jadi Tari terpaksa lembur karena harus meeting dengan bosnya itu. Tiba-tiba handphone Tari berbunyi.
"Hi, Cantik. Jangan lupa makan malam ya. Tunggu aku tepat di ulang tahunmu. :)"
"Anjrit!
Sumpah ya, ini orang bener-bener neror gw banget deh. Sampe nomor hp gw
dia tau juga. Masa iya gw mesti ganti nomor sih." Tari kesal.
Meeting sore ini selesai lebih cepat dari biasanya. Tari hanya telat pulang dua jam. Untungnya masih ada bus jadi Tari gak perlu pakai taksi untuk pulang. Sebetulnya kantor Tari memberikan fasilitas taksi gratis kepada karyawan seperti Tari apalagi kalau mulai lembur. Tapi Tari tidak pernah menggunakannya kecuali terpaksa. Entah apa alasan Tari untuk lebih memilih naik bus daripada taksi. Mungkin karena dulu ayah Tari sempat menjadi korban perampokan di dalam taksi hingga mengalami luka tusuk dan akhirnya meninggal. Bisa jadi trauma bagi Tari dan keluarganya untuk menaiki taksi.
"Kalo
sampe rumah terus gw liat ada sesuatu yang dikirim orang sialan itu
lagi, gw janji bakal bikin perhitungan beneran sama dia." Tari berucap
dalam hati.
Untungnya
kali ini Tari tidak menemukan apa-apa di teras rumahnya. Rumahnya
nampak sepi, mungkin ibu dan adiknya sudah tidur. Pikir Tari. Tari lalu
masuk ke kamar tidurnya untuk beristirahat. Namun tiba-tiba handphonenya berdering. Suara telepon masuk.
"Halo..." Tari mengangkat teleponnya.
"Mba Tari, ini saya mba." Jawab orang dibalik telepon Tari.
"Iya, ini siapa ya."
"Saya mba, Astuti. Yang biasa bantu ibu di warung. Mba Tari sudah di rumah belum?"
"Oh, iya mba. Ada apa? Kok tumben malem-malem telepon saya? Ini saya baru nyampe banget mba. Kenapa?"
"Ini
anu mba, tadi waktu saya beres-beres warung saya nemuin kado gede
banget. Saya taroh di warung saja. Soalnya tadi ibu pulang duluan. Saya
baru sampai rumah, jadi baru ngasih tau mba Tari."
"Kado? Kado apaan ya mba? Emang kadonya buat siapa? Tadi mba nemuinnya dimana?"
"Wah,
saya juga gak tau mba, saya gak berani buka. Kayanya buat mba Tari deh.
Soalnya ada suratnya. Sudah dulu ya mba, besok mba Tari lihat sendiri
saja ke warung. Malem mba Tari." Mba Astuti menutup pembicaraan malam
itu.
Tari menghela nafas yang cukup panjang dan berulang-ulang.
"Lama-lama gw bisa gila kalo tiap hari dapet kejutan aneh kayak gini terus. Sekarang apalagi coba yang dia kirim? Kebanyakan duit kali ya tu orang." Tari berbicara sendiri.
"Kak
Tariiiiii... Bangun, katanya mau ngajak Nindy jalan-jalan." Suara Nindy
membangunkan Tari Sabtu pagi ini. Adik kesayangan Tari ini sudah ada di
atas tempat tidur kakaknya saja. Rupanya Nindy menagih janji Tari untuk
mengajaknya jalan-jalan.
"Hummm, Adeee... Kakak masih ngantuk ah. Sejam lagi ya sayang. Kakak ngantuk banget nih." Ucap Tari sambil sedikit menguap.
"Iiih, kak Tari kan udah janji sama Nindy. Ayo kak, bangun." Rengek Nindy.
"Ya udah iya, tapi kakak mandi dulu ya. Masa jalan-jalan gak mandi. Kan nanti bau."
Tari
mengajak Nindy jalan-jalan ke taman di dekat komplek rumahnya. Dulu,
waktu Tari seumur Nindy, ayah selalu membawanya ke taman ini setiap
Sabtu. Tempatnya masih sama seperti Tari kecil. Ramai dan banyak tempat
duduk di pinggir kolam. Disana juga menjadi tempat orang berjualan kalau
hari Sabtu.
"Kak, aku mau liat ikan." Nindy memelas.
Tanpa banyak kata, Tari membawa adiknya melihat ikan di kolam taman itu.
"Waah, ikannya gede banget. Kalo aku bawa pulang boleh gak, kak?" Nindy mengajukan pertanyaan yang membuat Tari tertawa.
"Haha,
ya gak boleh dong. Ini kan bukan tempat mancing. Ikannya cuma boleh
diliat sama dikasih makan aja. Kalo dibawa pulang ya gak boleh." Jelas
Tari.
"Yaaah, padahal aku kan pengen kak. Satuuuuu aja." Nindy memohon.
"Emang buat apa ikannya? Kan di rumah juga banyak ikan di kolam belakang."
"Ya buat aku laaaaah. Buat di taroh di akuarium." Jawab Nindy polos.
"Dasar bocah. Ikan di rumah juga bisa kali di taroh di akuarium." Ketus Tari dalam hati.
"Ya
udah, nanti kalo kamu udah sekolah kakak bawain ikan disini buat kamu
deh. Kalo sekarang sayang ikannya kan masih kecil-kecil. Kalo dibawa
pulang nanti mati" Tari berkilah.
Akhirnya
Nindy luluh dengan kakaknya itu. Hari semakin siang, cuaca semakin
tidak bersahabat untuk tetap berada disana. Sebelum hujan Tari membawa
Nindy pulang. Di perjalanan menuju rumah, tiba-tiba hujan turun dan tak
terhindarkan. Mau gak mau Tari dan adiknya harus mencari tempat untuk
berteduh sementara.
"Yah,
padahal kan tinggal dikit lagi nyampe rumah. Kenapa harus hujan
sekarang sih. Kenapa gak bentaran lagi aja turunnya." Ucap Tari sambil
mengibas-ngibas baju adiknya yang sedikit basah terkena air hujan.
"Iya
nih, hujannya mendadak banget ya. Deres lagi." Ucap seorang laki-laki
di sebelah Tari. Rupanya laki-laki itu mendengar ucapan Tari tadi.
"Eh, hehe. Iya." Tari salah tingkah.
"Kenalin, aku Reza. Kayaknya aku sering liat kamu. Tapi aku gak tau dimana." Laki-laki itu mengasongkan tangan kanannya.
"Oh iya, saya Tari. Oh, mungkin mas salah orang kali. Muka kayak saya kan emang pasaran." Tari merendah.
"Tari? Sepertinya nama kamu juga gak asing buat aku." Reza menambahkan.
"Ya
Tuhan, bencana macam apalagi ini? Sudah cukup aku di teror sama orang
misterius itu. Jangan engkau tambah dengan orang ini juga dong." Tari
berucap dalam hati sambil ketakutan.
"Oh,
gt ya. Yang namanya Tari kan di dunia ini banyak mas. Mungkin mas punya
teman, sodara, tetangga atau mantan yang namanya sama kayak saya, kan?
Hehe." Tari mulai panik.
Untunglah hujannya tidak terlalu lama. Jadi Tari bisa cepat-cepat berlalu dari orang aneh yang baru ia temui itu.
"Saya duluan, mas. Mari." Tari langsung pamit dan bergegas pergi.
"Untung ujannya keburu reda, kalo engga berapa lama gw harus ngobrol sama orang itu. Iiih, ngeri juga lama-lama." Gerutu Tari.
Di
rumah, tiba-tiba Tari kepikiran kado yang di bilang oleh mba Astuti
yang di taruh di warung ibunya. Tari langsung menelpon Mba Astuti.
"Halo, mba Tuti. Mba, kado yang semalem mba bilang masih ada gak? Saya mau liat."
"Ada mba, kadonya saya taroh di ruangan mba Tari. Sekalian di ambil saja mba. Ibu juga sudah tau."
Tari langsung pergi menuju warung dan membawa adiknya serta.
Sepuluh menit kemudian Tari tiba di warung ibunya.
"Kak, itu kadonya tadi ibu suruh si mba masukin di ruanganmu. Memang kadonya dari siapa sih, kak?" Ibu penasaran.
"Kakak juga gak tau bu, semalem yang nemuin mba Tuti. Katanya sih buat kakak. Makanya kakak pengen liat."
"Ya sudah, sana liat dulu. Barangkali salah kirim."
Benar
saja yang dikatakan mba Tuti tadi malam, kadonya memang besar sekali.
Tari semakin ingin membukanya saja. Dibacanya surat yang menempel di
luar kado besar tersebut.
"Cantik, ini hadiah terakhir dariku. Semoga kamu suka. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi. :)"
Membaca
isi surat itu, Tari seolah sedih tapi juga lega. Lega karena ia tak
harus ketakutan lagi menerima barang-barang misterius dari pemuja
rahasianya. Sedih karena Tari akan merasa kehilangan hadiah-hadiah yang
biasa ia dapatkan setiap hari. Perempuan mana yang tidak suka di beri
hadiah? Apalagi hadiah yang mereka suka. Meskipun ketakutan, sebenarnya
Tari menyukai semua hadiah yang dikirmkan oleh orang aneh itu. Hanya
saja Tari tidak suka cara dia mengirimkan padanya. Tari menghela nafas
dan membuka bingkisan berbentuk kado itu. Sebuah boneka teddy bear besar
sedang duduk didalamnya. Warnanya cokelat muda. Seperti warna kesukaan
Tari selama ini.
"Teddy bear? Serius ini buat gw?" Tari heran sekaligus senang saat ia mendapati boneka besar itu yang ada di dalam bungkusan kado.
Ia lalu mengeluarkannya dan menaruh boneka raksasa itu di meja. Tari senang bukan main. Namun ada satu yang masih mengganjal di pikiran Tari. Siapa orang yang sudah berbuat sejauh ini untuk dia? Suara sms masuk ke handphone Tari.
"Gimana
bonekanya? Kamu pasti suka. Aku tahu kamu pasti suka sama semua hadiah
yang aku kirim. Hanya kamu tidak mau mengakuinya. Tunggu aku di hari
ulang tahunmu. :)"
Tari kemudian membalasnya.
"Aku tau kamu ada, aku juga tau kamu merhatiin aku dari tempatmu sekarang. Tapi yang gak aku tahu kenapa harus dengan cara ini? Segitu pengecutnya kah kamu sampe harus dgn cara kayak gini? Aku suka hadiah-hadiahmu. Tapi tidak dengan caramu mengirimkannya."
Tiga
minggu berlalu setelah kejadian misterius itu. Selama tiga mingg ini
tidak ada teror-teror lagi untuk Tari. Tari tak sabar menunggu hari
ulang tahunnya tiba. Satu-satunya yang ia tunggu adalah kehadiran orang
misterius itu saja. Tiga minggu ini Tari benar-benar seperti orang yang
mau melahirkan. Rasanya ingin cepat-cepat hari itu saja. Dibukanya email seperti
biasa. Dan ternyata ada pesan masuk dari pemuja rahasia Tari. Kali ini
ekspresi muka Tari sedikit cerah dan sumringah membaca isi pesan itu.
From : Secret Admirer
Subject : H-2
I'm your secret admirer
I'm your true lover
I walk everywhere you go
I see everything you saw
The day will come right away
Believe me!
I won't hurt you
All i want is to be remembered by you
When the day come,
Just give me your best smile
Don't let me sad
Please, forgive me for everything i've done
I'm not a loser
I hate for being your secret admirer
I wanna be your real adorer
That's all .
Membaca isi pesan itu, entah kenapa perasaan Tari terenyuh dan seolah
menyesal telah bersikap kurang baik selama ini. Padahal semua yang orang
itu lakukan adalah untuk menunjukkan perasaannya kepada Tari. Tari baru
sadar, bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam
menunjukkan perasaan cinta mereka. Tari merasa bersalah atas semua
sikapnya kepada pemuja rahasianya itu.
Akhirnya
hari yang Tari nantikan tiba. Hari ini, tepat di hari usianya
bertambah, Tari akan bertemu dengan pemgagum rahasia yang sudah
membuatnya tidak sabar menuggu kedatangan ulang tahunnya. Tari tidak
merayakan pesta ulang tahun, dia juga tidak mendapatkan kado spesial
dari seseorang. Hanya kecupan hangat dan ucapan selamat dari ibu dan
adiknya tadi malam yang ia dapatkan. Sama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Di rumahnya juga tidak ada kue ulang tahun sama sekali.
memang begitu kebiasaan Tari setiap ulang tahun. Biasa saja. Namun kali
ini sedikit berbeda dari biasanya. Meski tanpa kue dan lilin, Tari
merasa ulang tahunnya kali ini sangat spesial karena orang misterius
itu.
"Tok... Tok... Tok..." Suara pintu rumah tari ada yang mengetuk.
Tari tak sabar membuka pintu dan melihat siapa yang ada di balik pintu rumahnya itu.
"Selamat
ulang tahun, cantik. Semoga kasih Tuhan selalu mengelilimu dan
keluargamu." Ucap seseorang dibalik rangkaian bunga mawar putih yang
besar.
Tari terkejut setengah mati. Matanya berhenti berkedip beberapa detik. Ia langsung memeluk orang yang berada di hadapannya itu.
"Nicoooo... Ini kamu? Ya ampun. Ini beneran kamu? Kok kamu bisa ada disini? Kamu bukan secret admirer aku kan?" Tari menyerobot Nico dengan pertanyaannya itu.
Nico
ini adalah orang yang dulu pernah hadir dalam hidup Tari. Meski hanya
sesaat, namun kehadiran Nico sangat berpengaruh untuk Tari. Tari sempat
jatuh cinta pada Nico. Namun belum sempat mengutarakan perasaannya, Nico
pergi tak tau kemana. Tari kehilangan kontak Nico sejak empat tahun
lalu. Tari tidak pernah curiga kalau selama ini yang selalu memberinya
hadiah itu Nico. Karena yang Tari tahu, Nico bukanlah tipikal laki-laki
yang romantis dan puitis.
"Iya, ini aku. Akulah yang selama ini mengirimkan hadiah-hadiah buat kamu. Aku yang selalu ngirim kamu email dan sms-sms romantis. Aku yang berada dibalik amplop cokelat yang kamu temukan di halte." Nico tersenyum.
"Terus, kenapa kamu gak langsung nemuin aku sih. Kenapa kamu mesti jadi secret admirer aku coba?"
"Kalo
aku gak kayak gini, kamu gak akan tahu seromantis apa aku sama kamu.
Aku selalu bermimpi untuk jadi cowok kamu. Tapi kamu gak pernah ngasih
aku kesempatan buat nunjukkin perasaan aku ke kamu. Kamu selalu bilang
sama aku kalo aku ini gak romantis, aku gak bisa bikinin kamu kata-kata
indah. Makanya begitu aku pindah ke Jakarta, aku berusaha untuk menjadi
seorang yang romantis. Aku belajar dari sodaraku, Reza. Dia tinggal di
daerah sini juga. Dia yang ngasih tau aku cara membuat kata-kata
romantis. Aku juga banyak cerita tentang kamu sama dia. Nanti kalau ada
waktu, aku kenalin kamu sama dia ya. Sekarang, bolehin aku masuk dulu.
Aku pegel berdiri terus. Hehe." Nico dan Tari pun melanjutkan obrolan
mereka di dalam rumah.
Semakin hari hubungan Tari dan Nico semakin dekat. Kini, Nico tidak lagi menjadi secret admirer Tari. Karena sekarang mereka sudah berpacaran.
Dear, Ayah.
Ayah,
aku rindu ayah. Rindu sekali. Ayah sedang apa di Surga? Gak kesepian
kayak kita disini, kan? Ayah kapan dateng ke mimpi Tari lagi? Tari mau
cerita banyak sama ayah. Tari kangen di peluk ayah.
Ayah,
apa ayah tahu secret admirer? Pasti ayah tahu. Dulu, ayah sering bilang
sama aku kalo setiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam
mengungkapkan perasaanya. Ayah benar. Aku baru saja bertemu dengan
seseorang yang sudah lama ada di hati aku selain ayah, ibu dan Ade. Ayah
tahu gak dia kayak apa? Dia mirip ayah. Makanya aku nyaman di deket
dia. Ayah jangan cemburu ya kalo sekarang aku dekat dengan cowok lain
selain ayah. Aku tau ayah masih mengawasi aku. Ayah juga pasti tahu
siapa secret admirer aku. Ayah pasti suka sama dia. Karena ibu juga
begitu. Aku sayang ayah.
Tari
menulis surat lagi untuk ayahnya di blog pribadinya. Tari memang
begitu. Semua kebahagiaannya selalu ia tulis disana. Khusus untuk
ayahnya. Tari tidak pernah menulis cerita sedih atau marah. Karena ia
tak mau ayahnya tahu kalau Tari sedang bersedih. Meski sudah lama tanpa
ayah, Tari tetap tidak ingin punya ayah baru. Karena ibu Tari tidak
ingin membagi kasih sayang anak-anaknya kepada ayah yang lain. Ibu Tari
memang sangak baik dan bijaksana. Ibu Tari juga mengenal Nico. Sangat
kenal. Karena memang dulu sebelum Nico menghilang, Nico sangat dekat
dengan keluarga Tari. Bahkan ayah Tari sempat menitipkan putrinya pada
Nico. Dan sekarang Nico melunasinya. Mimpi Nico untuk mendapatkan Tari
sudah terwujud. Keinginannya untuk bisa romantis pun demikian. Kini,
Nico dan Tari tak lagi berjauhan. Kapanpun mereka mau, mereka bisa
bertemu.
- Fin -
***